Untuk Dirimu
Kau
tau dalam surat ku yang kedua ini aku mulai bertanya pada diriku sendiri. Aku
bertanya tentang dirimu yang tengah membaca surat ku ini, masihkah kau orang
yang sama yang selalu kurindu. Ketika aku bertanya seperti itu ada rasa
ketakutan dalam hatiku, bukan takut untuk kehilangan dirimu. Namun, aku takut
apakah kau akan menjadi orang yang berbeda ketika membaca setiap surat dariku.
Apakah kau akan tetap sama dengan pandangan mu yang seakan ingin menyelidik
kedalam setiap sudut kata-kata ini. Senyuman yang akan selalu sama ketika kau
membaca kalimat yang menurut mu terlihat aneh, atau mungkin kah kau pernah
tersipu ?. Tersipu ya tersipu, apakah kau tersipu saat membaca surat dariku
yang pertama itu ?. Jika memang kau tersipu, aku ingin melihat wajahmu saat
itu. Bagaimana caramu menyembunyikan senyuman mu, bagaimana pandangan matamu
yang berbinar namun enggan kau perlihat kan. apakah saat itu pandangan matamu
kan sehangat sang surya yang berselimut mendung tipis. Temaram nan menenangkan,
mungkin seperti itu pandangan matamu ketika engkau tersipu.
Manis,
kutulis surat kedua ku ini teriring rintik hujan menjelang pagi. Entah kenapa
dua kali aku menulis surat padamu, selalu bersamaan dengan turunya hujan.
Beberapa orang menganggap Hujan adalah symbol yang baik. Semoga saat kau baca
surat ku ini, hujan juga sedang mengiringi langkahmu. Tapi ada yang selalu aku
pertanyakan setiap kali hujan, Banyak orang yang selalu menggunakan hujan
sebagai symbol kesedihan dan tangisan. Aku tak pernah setuju akan hal itu,
buatku hujan adalah symbol pertemuan, peleburan, serta awal sebuah kehidupan.
Tidak kah hujan juga merupakan sebuah bentuk keromantisan. Ketika sepasang
kekasih harus berbagi sebuah payung yang tak terlalu besar. Ketika sang pria
merelakan setengah badanya basah oleh air hujan, agar kekasih hatinya tak terkena
tetesan air hujan. Atau saat sang pria harus merelakan buku tugasnya dijadikan
pengganti payung untuk menaungi sang kekasih. Meskipun ketika hujan selesai dan
buku tugasnya basah ia tiada mengeluh. Bukan kah itu suatu keromantisan yang
tak akan terjadi jika tiada bantuan dari hujan.
Ah,maaf
kan aku yang terlalu bersemangat dan seakan menggurui dirimu. Tahukah kamu,
bahwa sumber keromantisan ada pada seorang wanita. Tuhan seakan telah memasukan
sebuah sumber yang tiada terbatas pada seorang wanita. Sedangkan alam hanya
bertugas sebagai penyedia jasa. Alam hanya bertugas membukakan jalan untuk
mengeluarkan aroma keromantisan dari dalam seorang wanita. Banyak pria yang
menyebut dirinya romantis yang sebenarnya tak ada pria romantis. Keromantisan
itu hanya milik kaum wanita saperti dirimu. Jangan engkau kira aku menulis
surat ini juga bentuk keromantisan ku padamu. Bukan, aku tak lebih dari sebuah
boneka. Boneka yang diatur Tuhan untuk menyerap aroma keromantisan dari dirimu.
Maka dari itu aku selalu bilang pada dirimu, bahwa Jalan Tuhan tak akan pernah
salah manis.
Manis,
pagi sebentar lagi menjelang, namun hujan tiada menunjukan akan segera
berhenti. Pernah kah engkau berpikir manis. Jika terkadang hujan turun bukan
bertujuan hanya untuk menyirami tanah-tanah kering itu. Namun, tanah-tanah itu
membiarkan dirinya kering untuk mendatangkan hujan. Bagaimana bila aku menulis
surat ini bukan karena aku memang ingin menuliskannya untukmu. Namun
sebaliknya, engkau yang menginginkan diriku untuk menulis surat-surat ini untuk
mu. Apakah engkau pernah berpikir seperti itu manis ?. Ah, tentu saja kau telah
berpikir lebih jauh dari itu, karena bukankah sumber segala keromantisan
duniawi ada pada para wanita.
Samar
terdengar suara dari masjid dekat rumah ku, sepertinya subuh segera menjelang.
Malam akan segera berakhir, tenggelam dalam sejuta kilat cahaya Surya. Tapi,
benarkah malam itu pernah berakhir. Bukan kah ia hanya berpindah tempat saja,
lalu jika malam yang berpindah tempat disebut berakhir. Maka alangkah susahnya
diriku, tiada lagi aku bisa membayangkan hitam rambutmu itu. rambut yang begitu
hitam laksana malam, namun begitu indah menggoda jiwa. Tiada lagi aku bisa
melihat kerlingan mata mu dalam pijar sunyi para gemintang. Meskipun terlihat
begitu indah, namun sebenarnya ia begitu mematikan. Manis, telah berapa pria
kalah di depan kerlingan matamu serta hitam gemulai rambutmu. Serta lirih
tawamu yang selalu menenggelamkan sejuta pria dalam mimpi-mimpinya.
Manis,
harus kah ku akhiri surat ku sampai disini ?. Jika engkau tanya padaku, maka
aku tiada ingin memberhentikan surat ku hanya sampai disini. Aku ingin tetap
memandang dirimu, dari setiap sudut kata-kataku ini, mengintip senyuman mu dari
sekian banyak titik dan koma dalam surat ini. Jangan engkau anggap bahwa
kata-kataku hanya sebuah kata. Mereka hidup dan meliki rasa, mereka adalah mata
dan telingaku. Serta degup jantung ku yang mencoba untuk mencuri degup jantung
mu.
Manis, engkau adalah
hujan, dan tetaplah menjadi hujan. Maka aku kan menjadi tanah-tanah yang retak
hendak menati ajal, serta ranting-ranting cemara yang mengering. Agar bisa
merasakan ketenangan dan kerinduan serta kehidupan, yang telah menyatu dalam
setiap tetesan air hujan mu. Kita akan melebur, menyatu, menghidupkan
kisah-kisah baru yang akan mengisi dunia dengan segala cinta dan kasih.
Tetaplah menjadi hujan, dan aku kan tetap menjadi tanah yang kering menanti
kerinduan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar